Berdiri di depan pintu rumahku, Mirna mendekatkan kepalaku ke arahnya
dan berbisik di telingaku, "Ayah boleh mendapatkanku jika ingin."
Dia
memberiku sebuah kecupan ringan di pipi, dan berbalik lalu berjalan
menyusul suami dan anaknya yang sudah lebih dulu menuju ke mobil. Yoyok
menempatkan bayinya pada dudukan bayi itu, dan seperti biasanya, terlalu
jauh untuk mendengar apa yang dibisikkan istrinya terhadap ayahnya.
Mirna melenggang di jalan itu dengan riangnya seperti seorang gadis
remaja yang menggoda saja. Yoyok tak mengetahui ini juga, ini hanya
untukku.
Mungkin kamu mengira aku terlalu mengada-ada soal
ini, tapi nyatanya apa yang Mirna lakukan itu tidak hanya sekali saja.
Dan sejak aku tak terlalu terkejut lagi, aku jauh dari rasa bosan soal
itu. Aku merasa ada getaran pada penisku, dan pikiran yang wajar
'andaikan' berputar di benakku.
Mirna adalah seorang wanita
yang mungil, tapi ukurannya itu tak mampu menutupi daya tarik
seksualnya. Sosoknya terlihat tepat dalam ukurannya sendiri. Dia
mempunyai rambut hitam pekat yang dipotong sebahu, yang dengan alasan
tertentu dia biasanya mengikatnya dengan bandana. Dia memiliki energi
dan keuletan yang sepengetahuanku tak dimiliki orang lain. Cantiklah
kalau ingin mendeskripsikannya. Dia selalu sibuk, selalu terburu-buru
tapi selalu kelihatan manis. Dia masuk dalam kehidupan kami sejak dua
tahun lalu, tapi dengan cepat sudah terlihat sebagai anggota keluarga
kami sekian lamanya.
Yoyok anakku bertemu dengannya saat dia
masih di tahun pertamanya kuliah. Mirna baru saja lulus SMU, mendaftar
di kampus yang sama dan ikut kegiatan penataran mahasiswa baru.
Kebetulan Yoyok yang bertugas sebagai pengawas dalam kelompoknya Mirna.
Seperti mereka bilang, cinta mereka adalah cinta pada pandangan pertama.
Mereka
menikah di usia yang terbilang muda, Yoyok 23 tahun dan Mirna 19 tahun.
Setahun kemudian bayi pertama mereka lahir. Aku ingat waktu itu
kebahagian terasa sangat menyelimuti keluarga kami. Suasana waktu itu
semakin mendekatkan kami semua. Mirna sangat jenaka, selalu tersenyum
riang, dan juga menyukai bola. Dia sering menggoda Yoyok, mereka
benar-benar pasangan serasi. Dia selalu menyemangatinya. Yoyok
memerlukan itu.
Yoyok dan Mirna sering berkunjung kemari,
membawa serta anak mereka. Mereka telah mengontrak rumah sendiri,
meskipun tak terlalu besar. Aku pikir mereka merasa aku membutuhkan
seorang teman, karena aku seorang tua yang akan merasa kesepian jika
mereka tak sering berkunjung. Di samping itu, aku memang sendirian di
rumah tuaku yang besar, dan aku yakin mereka suka bila berada di sini,
dibandingkan rumah kontrakannya yang sempit.
Ibu Yoyok telah
meninggal karena kanker sebelum Mirna masuk dalam kehidupan kami.
Sebenarnya, tanpa mereka, aku benar-benar akan jadi orang tua yang
kesepian. Aku masih sangat merindukan isteriku, dan bila aku terlalu
meratapi itu, aku pikir, kesepian itu akan memakanku. Tapi pekerjaanku
di perkebunan dan kunjungan mereka, telah menyibukkanku. Terlalu sibuk
untuk sekedar patah hati, dan terlalu sibuk untuk mencari wanita dalam
hidupku lagi. Aku tak terlalu memusingkan kerinduanku pada sosok wanita.
Tak terlalu.
Bayi mereka lahir, dan menjadi penerus keturunan
keluarga kami. Kami sangat menyayanginya. Dan kehidupan terus berjalan,
Yoyok melanjutkan pendidikannya untuk gelar MBA, dan Mirna bekerja
sebagai teller di sebuah bank swasta. Kunjungan mereka padaku tak
berubah sedikit pun, cuma bedanya sekarang mereka sering membawa
beberapa bingkisan juga. Tentu saja, di samping itu juga perlengkapan
bayi, beberapa popok, mainan dan makanan bayi.
Beberapa bulan
lalu Mirna dan bayi mereka datang saat Yoyok masih di kelasnya. Dia
duduk disana menggendong bayinya di lengannya. Dia sedang berusaha untuk
menidurkan bayinya. Aku tak tahu bagaimana, tapi pemandangan itu entah
bagaimana menggelitik kehidupan seksualku.
"Jadi, ayah, kapan ayah akan segera menikah lagi?" dia bertanya dengan getaran pada suaranya.
"Aku
tak tahu. Aku kelihatannya belum terlalu membutuhkan kehadiran seorang
wanita dalam hidupku. Lagipula, aku telah memiliki kalian yang
menemaniku."
"Aku tidak bicara tentang teman. Aku sedang bicara soal seks." matanya mengedip ke arahku saat dia bicara.
"Apa?"
"Ayah tahu, seks." dia hampir saja tertawa sekarang.
"Saat pria dan wanita telah telanjang dan memainkan bagiannya masing-masing?"
"Ya, aku tahu seks," aku membela diri.
"Lagipula kamu pikir darimana suamimu berasal?"
"Yah, aku hanya khawatir ayah sudah melupakannya. Maksudku, apa ayah tak merindukannya?"
"Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku sudah terlalu tua untuk hal seperti itu."
"Hei! Pria tak pernah bosan dengan hal itu. Setidaknya begitulah dengan puteramu."
"Anakku jauh lebih muda dariku, dan dia mempunyai seorang isteri yang cantik."
"Terima kasih, tapi aku masih tetap menganggap ayah membutuhkannya," dia menekankan suaranya pada kata 'ayah'.
"Terima kasih sudah ngobrol," kataku, masih terdengar sengit.
Ada
sedikit jeda pada perbincangan itu, saat dia masih menekan kehidupan
seksualku. Aku pikir bukanlah urusannya untuk mencampuri hal itu
meskipun kadang aku membayangkannya juga. Dia pandang bayinya, yang
akhirnya tertidur, dan memberinya sebuah senyuman rahasia, sepertinya
mereka berdua akan berbagi sebuah rahasia besar. Masih memandangnya,
tapi dia berbicara padaku..
"Ayah boleh memilikiku jika ayah menginginkanku."
"Apa!!?"
"Aku serius." Mirna menatapku.
"Ayah boleh memilikiku. Ayah adalah seorang pria yang tampan. Ayah membutuhkan seks. Di samping itu, aku bersedia, kan?"
Aku
pikir dia sedang bercanda. Tapi wanita yang menggoda ini tidak sedang
main-main. Tapi tetap saja tak mungkin aku melakukannya dengan isteri
dari anakku.
"Terima kasih atas tawarannya, tapi kupikir aku akan menolaknya." suaraku terdengar penuh dengan keraguan saat mengucapkannya.
Mirna
mencibirkan bibir bawahnya, aku tak bisa menduga apa yang sedang
dirasakannya. Dia tetap terlihat menawan, dan aku merasa Yoyok sangat
beruntung. Dia bicara dengan pelan..
"Lihatlah, Yoyok tak akan
tahu. Maksudku, aku tak akan mengatakannya kalau ayah juga begitu. Dan
bukannya aku menawarkan diriku pada setiap lelaki yang kutemui. Aku
bukan wanita seperti itu dan aku bisa mengatur untuk sering berkunjung
kemari. Dan aku tahu ayah menganggapku cukup menggoda, kan, sebab aku
sering melihat ayah memandangi pantatku."
Aku tak mungkin
menyangkalnya. Mirna mungkin tak terlalu tinggi, tapi dia memiliki
bongkahan pantat yang indah di atas kedua kakinya.
"Ya,
pantatmu memang indah. Tapi itu bukan berarti kalau aku ingin
berselingkuh dengan menantuku sendiri." Dia berhenti sejenak, tapi Mirna
tak akan menyerah begitu saja.
"Yah, tapi jangan lupa, Ayah boleh mendapatkanku jika ingin."
Dan itulah awal dari semua ini..
Seiring
minggu yang berlalu, entah di sengaja atau tidak, dia seakan selalu
menggodaku, membuat puting susunya menyentuh dadaku saat dia menyerahkan
bayinya padaku. Atau dia masukkan jarinya di mulutnya saat Yoyok tak
melihat, dan menghisapnya dengan pandangan penuh kenikmatan padaku.
Suatu waktu dia duduk di lantai dengan kaki menyilang dan sedang bermain
dengan bayinya, dia memandangku tepat di mata, tersenyum, dan menyentuh
pangkal pahanya di balik celana jeansnya. Aku tak akan melupakan itu.
Dan dia entah bagaimana selalu menemukan cara untuk berduaan denganku
walaupun sesaat, dan dia memberiku ciuman singkat yang penuh gairah,
tepat di bibir. Itu semua dilakukannya berulang-ulang.
"Ayah boleh mendapatkanku jika ingin," dia berbisik di belakang Yoyok saat suaminya itu sedang memasukkan DVD pada player.
"Ayah boleh mendapatkanku jika ingin," dia berbisik saat mendekat untuk menyodorkan minuman padaku.
"Ayah boleh mendapatkanku jika ingin," dan dia selalu kembali membisikkannya setiap kali dia berpamitan.
Sekarang,
aku bukanlah terbuat dari batu, dan aku tak akan bilang tingkah lakunya
itu tidak memberikan pengaruh terhadapku. Mirna sangat manis dan
mungil, dan melahirkan bayinya tak membuatnya berubah seperti kebanyakan
wanita. Dia tetap langsing, dan manis, dan dia menawarkan dirinya untuk
kumiliki. Tapi aku tak akan memulai tidur dengan menantuku sendiri, tak
peduli semudah apapun itu. Setidaknya itulah yang tetap kukatakan pada
diriku sendiri.
Beberapa minggu yang lalu kami semua berkumpul
di rumahku untuk melihat pertandingan bola. Aku mengambil beberapa
kaleng minuman dan sedang berada di dapur untuk menyiapkan beberapa
makanan ringan saat Mirna muncul dari balik pintu itu.
"Hai!" sapanya, membuka pintu dan masuk ke dapur.
"Ayah sudah siap untuk pertandingan nanti?"
"Hampir.
Aku sedang membuat makanan untuk keluarga besar kita, dan aku punya
beberapa wortel untuk cucuku. Aku pikir dia akan suka dan warnanya sama
dengan kesebelasan yang akan bertanding nanti, kan?"
"Aku pikir dia tak akan peduli. Di samping itu bukankah ada hal lebih baik yang bisa ayah kerjakan untukku?" Mirna tertawa.
"Jangan menggodaku. Aku seorang kakek dan aku akan lakukan apa yang menurutku akan disukai oleh cucuku."
Aku
memandangnya. Mirna berdiri di sana memakai bandana merah kesukaannya
diatas rambutnya yang sebahu. Dia memakai kaos yang sedikit ketat yang
tak sampai ke pinggangnya, dan pusarnya mengedip padaku di balik
kaosnya. Kancing jeansnya membuatnya kelihatan seperti anak-anak di era
bunga tahun 60-an, dan dia memakai sandal dengan bagian bawah yang tebal
yang mana menjadikannya lebih tinggi tiga inchi. Kuku kakinya dicat
merah senada dengan lipstiknya, dan itu menjadi mencolok dengan sangat
menarik di balik denimnya.
Dia selalu suka mengenakan
perhiasan, dan dia memakainya pada leher, telinga, pergelangan tangan
dan bahkan di jari kakinya. Dia membuatku berandai-andai jika saja aku
masih remaja, jadi aku dapat memacari gadis sepertinya. Mungkin suatu
waktu nanti aku harus pergi ke kampus dan mencari gadis-gadis.
Khayalanku terhenti saat menyadari kalau Yoyok dan bayinya ternyata
tidak mengikutinya masuk.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar