"Dibandingkan milik ayah, besar mana Bu dengan punyaku?" Kataku mencoba menetralisir ketegangan.
Dengan reflek ibu mertua mencubit pahaku. Tapi ia tidak marah.
"Hushh..
Jangan ngomongin orang yang sudah meninggal. Tapi punya kamu memang
jauh lebih besar. Sampai takut ibu melihatnya," ujar ibu mertuaku.
"Takut... apa seneng?" timpalku.
Ia
mencubit lagi, tapi pelan saja dan tidak menimbulkan sakit.
Selanjutnya, tangan ibu mertuaku mulai beraksi. Pertama kepala penisku
dibelai-belainya dengan lembut, lalu usapannya turun ke kantung pelirku.
Cara menyentuhnya benar-benar profesional dan menimbulkan sensasi luar
biasa. Terlebih saat ia mulai menggenggam batang penis itu dan
mengocoknya perlahan.
Disamping mengocok, terkadang tangan ibu
mertuaku seperti meremas gemas batang penisku. Akupun mendesah,
menggelinjang menahan nikmat.
"Ahh.. Sshh.. Enak sekali Bu..,. Oohh," rintihku tertahan.
Tanpa
sadar aku telah mendekap ibu mertuaku. Wajahku yang membenam di
lehernya membaui aroma wangi cologne yang biasa dipakai istriku hingga
gairahku kian terpacu. Dan ah, ternyata ibu mertuaku tidak mengenakan
BH. Aku tahu karena lenganku yang mendekap tubuhnya menyentuh bukit
lembut di balik daster yang dikenakannya. Maka segera saja susu ibu
mertuaku itu kugerayangi.
Meski aku menggerayang dari luar
dasternya, tapi kuyakin buah dada ibu mertuaku lebih besar dibanding
milik Neni istriku. Hanya agak lembek dan kendur. Bentuknya juga sudah
merosot dan menggelantung karena putingnya berada agak di bawah. Sambil
menahan nikmat oleh kocokkan dan elusan mengasyikkan tangannya pada
kontolku, kubelai dan sesekali kuremas payudara ibu mertuaku. Bergantian
kiri dan kanan.
Tak puas hanya menggerayangi dari luar
bajunya, tanganku mulai mencari-cari kancing dasternya dan langsung
kubukai. Namun ketika tanganku hendak menelusup merogoh masuk melalui
bagian atas dasternya yang telah terbuka, ia seolah mencegah.
"Ibu
sudah tua Hen, punya ibu sudah jelek dan kendur," katanya seperti
mengingatkan tapi tidak mencoba mencegah tanganku yang telah menelusup
masuk.
Dulu susu ibu mertuaku pasti sangat montok dan mancung
bentuknya. Pasti almarhum ayah mertuaku senang membelai, meremas atau
meneteknya. Kini di usianya yang telah 53 tahun, memang sudah agak
kendur. Namun tetap tidak mengurangi gairahku untuk meremasinya. Apalagi
putingnya juga besar menonjol, hingga aku jadi gemas untuk memilinnya
dengan telunjuk dan ibu jariku. Nafas ibu mertuaku mulai memberat setiap
aku memilin-milin putingnya. Dengus nafasnya menerpa wajahku yang
berada sangat dekat dengan wajah ibu mertuaku.
"Hen, lama banget punya kamu keluarnya. Ibu sudah pegel nih mengocoknya," perlahan ibu mertuaku berujar.
Sebenarnya itu siasatku saja karena sejak tadi pertahananku sudah hampir jebol tetapi selalu kutahan.
"Kalau
begitu ibu berhenti dulu deh, gantian aku yang kerja," kataku sambil
turun dari ranjang lalu mengambil posisi berjongkok di depan kaki ibu
mertaku yang menjuntai.
"Kamu mau apa Hen?!"
Ia sangat kaget ketika aku menyingkapkan dasternya dan mencoba merenggangkan posisi kakinya.
"Aku ingin lihat punya ibu," balasku.
Tadinya
ibu mertuaku mencoba bertahan agar posisi kakinya tetap terhimpit.
Namun karena aku memaksa, himpitannya mulai mengendor.
"Ibu nggak pakai celana dalam Hen. Jangan, ibu malu," katanya lagi tetapi membiarkan tanganku merenggangkan kedua kakinya.
Dari
balik dasternya yang tersingkap sangat lebar, ternyata benar. Di
samping tidak mengenakan BH, ibu mertuaku juga tidak memakai celana
dalam. Di antara pahanya yang membulat putih montok, kemaluannya
terlihat membusung lebar. Tetapi tanpa rambut, nampaknya ibu mertuaku
rajin mencukur. Bibir kemaluannya agak tebal dan berwarna agak
kecoklatan. Kontras dengan celahnya di bagian agak ke dalam yang
berwarna merah muda. Pasti ayah mertuaku dulu sering mengentotnya dan
dari lubang inilah Neni dilahirkan.
Jakunku turun naik dan
berkali-kali aku meneguk air liur melihat pemandangan menggairahkan itu.
Tak tahan cuma hanya melihatnya, aku mulai menyentuh dan menggerayangi
kemaluannya. Kuusap-usap dan kubelai memeknya yang membukit dan
menggairahkanku itu.
Sudah enam bulan lebih aku tak menyentuh
bagian paling merangsang milik wanita ini atau sejak istriku selalu
menolak kuajak berhubungan suami istri. Ternyata, memek gundul tanpa
rambut juga lebih merangsang. Aku membelai memeknya sambil mulutku
menciumi paha montok ibu mertuaku. Ibu mertuaku menggelinjang, mendesah
menahan gairah. Dan sejauh itu, ia membiarkanku meluahkan gairahku yang
telah cukup lama disapih dalam segala hal oleh Neni, istriku.
Namun
ketika ciumanku mendekat ke selangkangannya, ibu mertuaku sedikit
berontak. Tangannya menahan kepalaku agar mulutku tak menempel di bibir
kemaluannya.
"Iihh... Mau diapain Hen? Jangan ah, kotor," katanya.
Apakah
ia tidak pernah mendapatkan oral seks? Mungkin saja, karena ayah dan
ibu mertuaku tergolong produk lampau. Berpikir begitu aku jadi nekad
untuk memperkenalkan jilatan lidahku yang sering membuat istriku
kelojotan bak cacing kepanasan. Kutekan keras kepalaku untuk mengalahkan
penolakan ibu mertuaku sampai mulutku menyentuh memeknya.
Memek
ibu mertuaku tidak berbau, nampaknya ia rajin merawatnya. Saat lidahku
mulai menyapu bibir kemaluannya, penolakannya mulai mengendur. Bahkan
kuyakin ia mulai menikmatinya ketika lidahku menelusup ke celah memeknya
dan menjilati kelentitnya. Ia mengerang dan merintih tertahan.
"Gimana Bu, enak kan?" ujarku sambil terus menjilat dan menyapu lubang nikmat ibu mertuaku.
Bahkan sesekali kucerucupi dan kusedot-sedot kelentitnya. Ia terus mendesis dan mengerang menahan nikmat.
"Aahh..,.
Sshh..,.. Enak sekali Hen, oohh. Ibu baru merasakan yang seperti ini
Hen.., oohh..,.. Sshh..,.. Aakkhh," erangnya tertahan.
Lubang
memek ibu basah, banjir oleh campuran ludahku dan cairan yang keluar
dari vaginanya yang terasa asin. Rintihan dan erangan ibu mertuaku
membuat gairahku kian terpacu. Aku juga takut ia mendahului mencapai
klimaks dengan oral seks dan menjadikannya menolak untuk disetubuhi.
Maka di tengah erangan dan rintihannya yang tak putus-putus, aku
langsung berdiri.
Kakinya yang menjuntai ke bawah ranjang
makin kurenggangkan dan kontolku yang tegak mengacung kuarahkan ke liang
sanggamanya. Kepala penisku yang membonggol besar kugeser-geserkan di
bibir kemaluannya yang merekah lalu perlahan kudorong masuk. Bblleess,
sekali tekan amblas terbenam batang penisku. Karena di samping banyak
cairan pelicin yang bercampur ludah, nampaknya lubang memek ibu mertuaku
sudah cukup longgar.
Ibu mertuaku yang tadinya tiduran bangkit seperti terkaget dan seolah hendak memprotes tindakanku.
"Hen..,.
Ja.. Jangan! Aa.. Aku ibu mertuamu Hen, ja.. Ja..,.. Aahh.. Oohh..,..
Sshh..,.. Akkhh," tetapi protesnya berubah menjadi erangan dan ungkapan
kenikmatan setelah aku memaju mundurkan penisku di lubang vaginanya.
Susu
ibu mertuaku yang besar ikut terguncang-guncang setiap kali penisku
keluar masuk di lubang nikmatnya. Tubuhnya tergetar dan matanya
membeliak-beliak dengan mulut yang terus mendesis. Tampaknya ia sangat
menyukai sodokan-sodokan kontolku yang menghujami memeknya.
Sebenarnya
aku ingin sekali meremasi susu ibu mertuaku yang terguncang-guncang
menggemaskan itu atau mengulum putingnya yang mencuat coklat kehitaman.
Ingin pula kulumat bibirnya yang membasah. Namun karena ingin memberi
kesan yang baik padanya, aku berusaha sekuat tenaga untuk dapat
memuaskannya. Hunjaman kontolku di lubang nikmatnya kadang kupercepat
dan kadang kumainkan dalam tempo lambat.
Sambil terus
menyodok-nyodok memeknya, sesekali kelentitnya yang mencuat kumainkan
dengan jari telunjukku yang telah kubasahi dengan ludah. Variasi yang
kulakukan membuat ibu mertuaku semakin kelabakan. Pinggulnya diangkat
seperti hendak menyongsong sodokan kontolku. Rintihan dan erangannya
semakin keras. Untung pintu kamar sudah kukancing dari dalam dan istriku
pulas tertidur.
Akhirnya, tubuh ibu mertuaku mengejang.
"Ohh.. Ahh.. Shh.. Aakkhh enak sekali Hen, ibu nggak tahan mau keluar ahh.. Ahh," nampaknya ia hendak mendapatkan orgasmenya.
Maka
dengan cepat kupacu sodokan dan hunjaman kontolku di memek ibu
mertuaku. Hingga ia seperti melolong dan merintih menahan nikmat. Aku
baru berhenti setelah kulihat matanya membeliak dan hanya terlihat
bagian putihnya dan tangan ibu mertuaku mencengkeram keras kain sprei
tempatnya berbaring. Kubiarkan ibu mertuaku terkapar menikmati sisa-sisa
kenikmatan yang baru didapatnya dengan nafas yang masih memburu.
Aku
keluar menuju kamar mandi. Aku ingin membersihku rudalku yang masih
tegak mengacung selagi ibu mertuaku masih terkapar. Batang kontolku
terasa lengket belepotan oleh lendir dari memek ibu mertuaku. Juga
sambil menengok Neni di kamarnya, takut ia terbangun. Saat aku kembali,
ibu mertuaku sudah berdiri dan bermaksud keluar kamar hingga aku
mencegahnya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar